Antara Dua Kota


Antara Dua Kota 

Oleh: Vitto Andrew Sampouw


Bab 1 — Pertemuan Lama di Tengah Jarak

Jakarta. Kota yang padat, panas, dan ramai — tapi entah kenapa, hari itu terasa lebih ringan. Aku baru tiba dari luar negeri. Kuliahku masih berjalan, tapi aku ambil waktu untuk libur. Butuh istirahat. Butuh pulang. Liburan ini rencananya untuk keluarga besar, kumpul di Bandung. Tapi sebelum ke sana, aku sempatkan tinggal di Jakarta beberapa hari.


Pacarku waktu itu masih di Singapura. Kami LDR. Sama-sama kuliah di luar negeri. Hubungan kami cukup kuat — keluarga kami bahkan tahu kami pacaran. Dan meskipun jarak itu gak mudah, kami belajar untuk bertahan.


Jakarta memberiku waktu untuk diam sebentar. Dan di sela-sela itu, aku gak sengaja ketemu seseorang. First love-ku. Orang yang dulu sempat mengisi ruang kecil di hatiku saat remaja. Kami sempat dekat dulu, tapi waktu berjalan, dan hidup membawa kami ke arah yang berbeda.


Ketika ketemu lagi, rasanya... aneh tapi hangat. Seperti membuka album foto lama. Kami ngobrol sebentar, ketawa ringan, tukar kabar seadanya. Aku tanya, “Lo masih deket sama cowok yang dulu lo suka?”


Dia senyum, “Masih temenan kok.”


Dan itu cukup. Gak ada rasa yang tertinggal, gak ada gejolak. Hanya nostalgia yang lewat seperti angin — menyentuh sebentar, lalu hilang. Sekarang aku tahu siapa yang sedang aku genggam, dan siapa yang hanya bagian dari cerita lama.


Aku dan dia berpisah lagi, dengan senyum. Kali ini bukan karena luka, tapi karena hidup memang begitu.


Hari-hariku di Jakarta mulai terasa penuh. Aku menyiapkan keperluan untuk ke Bandung — sewa mobil, kontak saudara, dan tentu aja tetap rutin komunikasi sama pacarku di Singapura. Lalu, malam itu dia bilang:


“Aku pengin nyusul. Bisa gak?”


Aku kaget. “Ke Jakarta?”


“Iya. Aku pengin liburan bareng kamu juga.”


Dan dia beneran pesan tiket. Subuh dia mendarat di Soekarno-Hatta. Aku, meskipun capek, langsung berangkat dari Bandung ke Jakarta buat jemput dia.


Waktu dia keluar dari pintu kedatangan, matanya sembab karena kurang tidur, tapi senyumnya langsung bikin semua capekku hilang.


“Aku laper,” katanya sambil tertawa kecil.


“Kebetulan aku juga,” jawabku.


Dan kami pun mulai perjalanan baru — bareng.


Bab 2 — Sepiring Padang dan Seribu Tawa

Kami cari makan dulu sebelum jalan ke Bandung. Dia bilang kangen makanan Indo, jadi kami mampir ke rumah makan Padang. Tempatnya kecil, tapi rame. Dan begitu makanannya datang, dia langsung lahap banget — rendang, sambal ijo, telur balado, nasi panas. Gak ada sisa.


“Aku kangen banget makanan kayak gini,” katanya sambil senyum puas.


Aku cuma bisa lihat dia sambil ketawa. Ternyata bahagia itu sesederhana ini ya — makan bareng orang yang kamu sayang, di kota yang ramai tapi terasa tenang.


Setelah makan, kami langsung tancap ke Bandung. Dia tidur di mobil, kecapekan habis penerbangan pagi. Aku nyetir pelan sambil sesekali lihat dia lewat kaca spion. Wajahnya tenang. Dan aku bersyukur.


Di Bandung, kami langsung check-in di hotel kecil di Dago. Kamarnya hangat, minimalis, dan nyaman. Dari balkon, lampu kota terlihat bertebaran seperti bintang jatuh. Karena sudah malam, dia istirahat di kamar sepupuku perempuan, sesuai rencana tanteku.


Hari-hari berikutnya kami habiskan bareng. Jalan-jalan ke Lembang, ngopi di kafe rooftop, dan tentu aja mampir ke Braga.


Braga punya pesona yang beda. Jalan sempit dengan bangunan tua, toko-toko kecil, dan seni jalanan di tiap sudut. Kami duduk di sebuah café vintage sambil pesan kopi dan roti bakar. Musik jazz pelan mengalun dari speaker tua di atas kami.


Aku foto dia diam-diam. Dia sadar, ketawa, dan bilang, “Jelek ah, jangan di-post.”


Tapi menurutku, itu foto terbaik yang pernah kuambil.


Malam itu, kami duduk di balkon hotel. Angin Bandung mulai dingin, tapi dia menyandarkan kepala di bahuku. Kami diam lama, tapi itu bukan diam yang canggung. Itu diam yang nyaman. Yang gak butuh kata-kata.


“Lusa kita ke Jogja, ya?” katanya.


“Iya. Semua udah siap.”


Dia senyum. Aku balas dengan senyum yang sama. Dan malam itu, untuk pertama kalinya selama liburan ini, aku ngerasa lengkap. Gak ada yang kurang. Gak ada yang berat. Gak ada bayangan masa lalu yang membebani.


Hanya kami. Di antara dua kota. Dalam satu cerita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelanggaran Hak Asasi Manusia ?

Gen Alpha

Jejak Yang Tak Terlihat -Vitto Sampouw