"Suara yang Tertukar Beras"
"Suara yang Tertukar Beras"
Oleh : Vitto Sampouw
Aku gak pernah paham politik.
Yang aku tahu cuma satu: perutku lapar.
Hari itu, kampung kami rame. Motor-motor masuk lorong, bawa kaos, spanduk, dan... beras.
Sekantong plastik isi dua kilo, merek murah.
Tapi bagiku, yang udah tiga hari cuma makan nasi sisa dan garam, itu kayak emas.
Orang itu dateng ke rumah sambil senyum.
"Bu, ini sedikit bantuan dari Pak A. Kalau boleh, nanti coblos nomor dia ya..."
Ibuku ngangguk. Aku cuma diam, tapi mataku gak lepas dari kantong beras itu.
Malamnya aku denger ibu bisik-bisik sama tetangga.
"Yah, daripada nggak makan, ya udah... nyoblos dia aja, kita bukan siapa-siapa juga."
Aku cuma bisa duduk di tikar bolong, nunduk.
Gak ada listrik malam itu, cuma nyala lilin dan suara jangkrik.
Pemilu pun tiba.
Aku ikut ibu ke TPS.
Masuk bilik, tanganku gemetar.
Kertas suara kebuka. Wajah-wajah orang asing tersenyum palsu di situ.
Aku cari nomor yang ibu bilang — Pak A.
Centang.
Keluar dari bilik, aku ngerasa hampa.
Lima tahun berlalu.
Beras itu udah lama habis.
Pak A? Gak pernah keliatan lagi.
Rumahku masih bocor, sekolah adikku masih jalan kaki 5 km.
Harga sembako naik.
Pemerintah bilang: "Ekonomi stabil, negara tumbuh."
Tapi aku gak tumbuh.
Yang tumbuh cuma rasa sesal.
📌 Catatan Penulis:
Cerita ini lahir dari kenyataan.
Temanku benar-benar pernah menjual suaranya demi dua kilo beras.
Bukan karena bodoh.
Tapi karena lapar.Cerita ini nyata.
Dan terlalu banyak orang lain yang pernah mengalaminya!!
Komentar
Posting Komentar